Friday, July 27, 2012

Mount Fuji Pt.1 : The Climb


Yeah..., I just climbed Mount Fuji.
Aku mengatakan hal itu, seakan-akan hal itu adalah sebuah hal yang remeh. 

Gunung Fuji adalah gunung kebanggaan rakyat Jepang, dengan ketinggian 3776m. Di kantor, jika cuaca sedang baik, aku dapat melihat gunung itu dari jendela. Orang-orang biasanya akan berkumpul di jendela sambil memandang gunung itu dari kejauhan. Dari kejauhan itulah kata kuncinya.

Jadi begini kira-kira ceritaku.

Suatu hari teman gerejaku berkata, "Hey, Natasha, Fuji climbing season is starting, you wanna go climb?"

Semangat turis dalam diriku, yang selalu berkata 'Ya' jika diajak jalan-jalan kemanapun--padahal sudah satu tahun lebih aku tinggal disini--langsung meloncat. "Sure! When?" Aku sangat bersemangat karena official climbing season untuk gunung fuji hanya berdurasi 2 bulan. Dari tanggal 1 July sampai 31 Agustus. Jadiiii, bagi mereka-mereka yang ingin memanjat gunung itu, dengan kemampuan terbatas (baca: aku) inilah saat yang paling tepat.

Kami merencanakan untuk berangkat di bulan Juli, bertepatan dengan hari libur nasional Jepang. So there we go, four of us girls. 
Kedua teman gerejaku, mereka mempunyai persiapan yang sangat baik! Membeli segala perlangkapan memanjat/hiking. Bahkan salah satu-nya seperti di-sponsori oleh sebuah perusahaan peralatan climbing, karena ia mengenakan merk yang sama dari atas sampai bawah! Kami terus menggodanya seharian karena itu. 

Aku dan teman kantorku...? Well..., kami hanya bermodal..., ngotot. Kami tidak membeli apapun sebagai persiapan manjat itu. Bahkan sepatu pun, kami hanya mengenakan winter boots. Berharap berdoa benda itu tidak akan rusak, sampai kami kembali lagi di kaki gunung.

Perjalanan kami mulai dengan ceria. Bercerita, tertawa, bahkan salah seorang temanku masih bernyanyi....

Kami memulai dari stasiun 5 yang berada di ketinggian 2300m. Stasiun itu adalah, stasiun--yang katanya--memiliki track termudah untuk naik ke puncak Gunung Fuji. Dari website-website yang aku baca, dikatakan, "Track ini adalah track yang termudah, bahkan seorang amatir pun, bisa melewatinya." Yeah, you can say that again, mister. Jadi mulai dari stasiun 5, naik hingga ke tempat peristirahatan kami di daerah stasiun 8. Beristirahat beberapa jam, lalu melanjutkan perjalanan ke puncak. Stasiun terakhir adalah nomor 9, lalu puncak gunung fuji. 






 Kami mulai berjalan jam 1 siang. Stasiun 5 menuju 6. Still okay, no problem whatsoever.



Stasiun 6 menuju 7, kondisi jalanan berpasir dan kerikil, menanjak zig-zag, tiupan angin mulai terasa. Udara mulai terasa tipis, karena kami menanjak semakin tinggi. Kami mulai merasa lelah, dan harus berhenti sejenak di setiap belokan jalan menanjak zig-zag itu. Motto kami saat itu adalah, "One Turn at a Time."


Statiun 7 menuju 8, the torture begin. Ada banyak Hut sebagai tempat beristirahat di track ini, sehingga kami bisa duduk dan beristirahat sejenak, but still.... 
Track di jalur ini bukan jalan datar menanjak. Tapi batu-batu besar. Let me say that again, batu-batu besar. Aku harus memanjat merangkak merayap melewati batu-batu itu, di tengah-tengah tiupan hembusan tamparan angin kencang nan dingin. At some point, aku harus berhenti merayap dan menunduk di antara bebatuan itu, ketika angin kencang bertiup. Saat itu, aku mulai berpikir, "God, remind me again, why am I here???" Hehehehehe.


Setiap langkah terasa semakin berat. Jarak antara Hut terasa semakin jauh. Batu-batuan yang harus aku lewati terasa semakin besar. Ingin rasanya aku jongkok dan menangis sesunggukan di tengah-tengah batu-batu itu, dan meminta pulang. Setiap kali aku melihat tangga, aku rasanya ingin berteriak dan menangis, karena tidak mampu lagi memanjat tangga. 
Setiap kali kami sampai di salah satu Hut peristirahatan, kami akan duduk di kursi-kursi yang disediakan, menunggu teman kami yang berjalan paling belakang. Ia biasanya akan muncul beberapa menit kemudian, literary merangkak, menaiki tangga demi mencapai Hut itu. Kami yang juga terlalu lelah..., hanya akan duduk di kursi itu, melihat ke arah tempat teman kami sedang merayap, sambil memberi semangat..., "Go! You can do it! Just a few steps more!" Iya sih, few steps di Hut itu, tapi masih sekitar thousands of crawling menuju Hut kami.


Setelah merangkak, merayap, ingin menangis, mengutuk dan setengah memohon-mohon agar perjalanan ini segera berakhir, akhirnya kami tiba di Hut tempat peristirahatan kami. Yang berada di ketinggian 3250m. 


Setiba kami disana, kami dihidangkan dengan se-porsi rice-curry. Sepanjang jalan, di tengah-tengah perjuangan kami, kami masih bercanda, mengenai 'the most delicious rice curry' yang sedang menunggu kami, untuk menambah semangat, agar bisa cepat sampai di Hut kami. Well this is that 'most delicious curry' itu.



Ketika sedang makan, seorang temanku yang melakukan semua urusan booking Hut dan bis, berkata,"You know what? I actually wanted to book the Hut after this one, but it's already full book. So I got this one instead."
Kami yang mendengar hal itu langsung spontan berteriak..., "Well, Thank God you got this one! Because we're not even sure we can reach this place!" Aku betul-betul bersyukur kami menginap di tempat kami menginap. Karena untuk bisa mencapai tempat ini saja, aku sudah mulai berpikir ke arah kematian, sepertinya misalnya menggumamkan kata-kata, "I'm going to dieeee...., I'm goiinnggg too diiieee!"

Sambil menikmati makan malam, kami juga langsung diberikan kotak makan, untuk makan pagi kami keesokan harinya. 

 
Pukul 12.30am kami dibangunkan. Karena jika ingin mengejar sunrise di summit, kami harus segera berangkat. Me? Aku masih sibuk menggeliat di sleeping bag ku yang hangat. Aku melihat mengintip orang-orang, dari jendela dari dalam Hut, dan semua hal ini aku lakukan tanpa melepas sleeping bag dari badanku. Aku seperti kepompong raksasa. Aku melihat semua orang dengan perlengkapan mereka, bahkan dapat mendengar suara angin yang bertiup. Aku tidak ingin keluar. Hahahaha.

Pada akhirnya, kami keluar juga, berjuang lagi menuju puncak. 

Ketika semburat matahari mulai terlihat di langit, aku memutuskan untuk tidak lagi berjuang ke atas, dan berhenti dimanapun itu, aku berada, di ketinggian yang bahkan tidak aku ketahui, dan melihat sunrise dari sana. Tanganku gemetar walaupun bersarung tangan, dan terlepas dari kaos kaki tiga lapis yang aku kenakan, aku tidak bisa merasakan jari kakiku. Aku tidak tahu berapa lapis baju yang aku kenakan..., aku tetap merasa dingin. Tapi aku duduk disana, bersama seorang temanku melihat matahari muncul dari balik awan. Kelompok kami bahkan akhirnya terpisah, karena perbedaan kecepatan--juga keinginan--berjalan kami.


Setelah menikmati sunrise kami pun turun. Sebelum turun aku masih melihat ke atas, ke arah summit. Antrian orang-orang masih begitu panjang. Mengingat aku juga harus mengejar bis pulang, rasanya tidak mungkin aku bisa naik ke puncak, dan turun lagi dalam waktu ditentukan. But then again, sebenarnya keinginanku untuk sampai puncak juga sudah luntur, hahahaha. Jadi, dengan--sedikit--semangat yang masih tersisa, aku dan temanku memutuskan untuk turun.

Jika naik terasa seperti siksaan, turun terasa seperti penderitaan tiada akhir..., aku bahkan lebih parah ketika turun, di jalanan berpasir-kerikil-zigzag-menurun-yang licin. Aku berjalan begitu lambat seperti seorang nenek-nenek. Bahkan sebenarnya nenek-nenek saja tidak berjalan selambat aku, karena mereka terus mendahului aku di jalan turunan itu. Man!

Aku bahkan sudah lupa berapa lama sampai akhirnya aku sampai di stasiun 5 lagi. Tapi sepanjang perjalanan, tidak pernah--sampai saat itu--aku sebegitu seringnya berpikir soal kematian, hahahahahaha. Jalan zig-zag menurun yang licin itu, tidak mempunyai pagar atau penghalang apapun di pinggir-pinggirnya. (Well, what do you expect, it's a mountain!) Sehinggaaaaa, jika aku terpeleset..., lalu terseret agak jauh, aku bisa saja langsung jatuh ke jurang. Sambil berjalan selangkah-demi selangkah, dengan bantuan tongkat pinjaman dari tourist center di stasiun 5, aku berguman..., "God, I don't want to die here." Hahahahaha.

Salah satu hal yang sangat menyebalkan dari perjalanan turun ini adalah, terkadang akan ada beberapa orang yang turun sambil berlari! Karena jalanan yang menurun itu, membantu mereka untuk lari lebih cepat. I'm like, Dude! You still have some strength left to run down the mountain??? Aku juga berpikir, jika gunung ini mempunyai jalan yang berbeda untuk naik dan turun..., dan jalan turun itu masih bisa dikategorikan jalan datar menanjak/menurun yang berpasir dan berkerikil, kenapa jalan ini tidak dipakai juga sebagai salah satu track untuk naik? Ketimbang harus merayap melewati batu-batu besar itu? Atau mungkin justru batu-batu itulah, inti dari 'petualangan' memanjat Fuji? *menarik napas panjang*

Well, aku tidak sampai puncak gunung itu, aku tidak menyesal. 
 Tidak ada keinginan lagi untuk pergi ke gunung itu. Aku dan temanku bahkan masih merinding setiap kali mendengar kata 'Gunung Fuji.'

Setelah 'berhasil' menaiki gunung itu, aku dan temanku mempunyai kesimpulan, "Itu gunung emang bener cuman bagus diliat dari jauh ya...." Hahahahaha.

No comments: