Thursday, September 23, 2010

[no title]

Aku sebenarnya tidak mengenalnya begitu dalam.

Terakhir kali aku bekerja dengannya adalah 3 tahun yang lalu, sebelum akhirnya dia diterima kembali bekerja di tempat ini, belum sampai seminggu yang lalu. Ia terlihat begitu gembira bisa bekerja lagi, setelah absen selama 3 tahun, setelah memiliki 2 orang anak. Orangnya memang selalu ceria, selalu tertawa. Ketika diberitahu mengenai karakter calon bos-nya yang menyebalkan, ia hanya tertawa dan membalas, “tenang aja, kalo ampe dia ngomel, entar gue omelin balik.” Aku hanya tertawa mendengar komentarnya, sambil berpikir, si jepang satu itu sepertinya akan mendapat seorang lawan yang kuat.

Hari Kamis itu adalah hari pertama seharusnya ia mulai bekerja. Tapi ia hanya datang ke kantor, untuk meminta ijin ke dokter, karena ia merasa kurang enak badan, dan berjanji akan datang keesokan harinya. Keesokan harinya ia bercerita padaku, badannya masih terasa lemas. Ia tidak sanggup berangkat ke kantor dari rumahnya sendiri, karena terlalu jauh, sehingga ia harus menginap di rumah ibunya. Kami sama-sama berpikir, mungkin ini hanya kasus flu, batuk, dan pilek biasa. Ia terlihat bersemangat bekerja, dan sudah mulai merencanakan bagaimana cara ia akan merapikan file-file lama nanti. Hari Minggu, aku masih berkomunikasi dengannya mengenai pekerjaan. Hari Senin ia tidak masuk karena menurut dokter ia mesti rawat inap. Hari Selasa….


Ia masih memberi kabar bahwa sepulang dari periksa dokter, ia akan ke kantor.

Aku sudah mulai mengantuk, ketika aku menyudahi chatting dengan seorang temanku. Aku sedang bersiap-siap untuk tidur, ketika handphone-ku berbunyi. Siapa yang meng-sms malam-malam begini? Pikirku. Ketika kubaca, kata-kata yang tertera cukup singkat. “Nay, Nita meninggal dunia.” Tidak mungkin! Teriakku dalam hati. Ia masih datang ke kantor 3 hari yang lalu, dan duduk tepat di belakangku. Hari Senin kami masih saling berkirim sms, ia berjanji akan ke kantor sepulang dari dokter! Bahkan pada hari Selasa, siang harinya aku masih menerima miss-call darinya.

Terburu-buru aku menelpon temanku yang mengirim kabar. Ia menangis tersedu-sedu ketika mengangkat telpon, merengek, mengajakku ke rumah sakit. Akhirnya aku setuju. Kami berangkat menuju rumah sakit, tapi terlambat, pihak keluarga sudah membawanya ke rumah. Tanpa berpikir panjang, kami langsung menuju rumahnya. Di dalam taksi, kami tidak berbicara banyak. Temanku masih sedikit terisak-isak. Pembicaraan yang terjadi hanyalah soal ingatan akan dirinya yang masih bekerja 3 hari lalu. Tapi setelah itu, kami terdiam lagi. Beberapa kali seperti itu. Kesunyian selalu menyeruak kembali ke tengah-tengah percakapan kami. Yang terdengar hanyalah suara lalu lintas di luar, dan suara supir taksi yang sedang menyenandungkan sebuah lagu. Ketika kami berkata padanya, untuk mengikuti bendera kuning, agar mencapai rumah yang sedang kami tuju, ia pun bergabung dalam kesunyian kami, mengerti.


Aku masih tidak bisa percaya, ia dibaringkan disitu, di tengah-tengah ruangan.

Ketika kami tiba di rumahnya, beberapa orang sedang bergerombol di depan. Pandangan mereka mengikuti kami hingga kami masuk ke dalam rumah. Dari dalam terdengar suara orang yang sedang membaca doa, bisikan-bisikan, dan isak tangis. Lalu…, aku melihatnya, disitu, di tengah ruangan, tertutup kain putih, tidak bergerak. Otakku sepertinya masih tidak bisa mencerna kejadian ini. Hanya 3 hari yang lalu aku masih berbicara dengannya, tertawa-tawa, bercanda. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipiku.

Kami menghampiri orang tuanya, bersalaman, memberi semangat. Walaupun kata-kata yang keluar dari mulutku lebih mirip sebuah gumaman. Aku selalu tidak tahu apa yang harus kukatakan pada situasi seperti ini. Tapi apakah ada orang yang benar-benar tahu? Orang tuanya terlihat tabah, walaupun ibunya masih terisak-isak. Ayahnya yang terduduk di kursi roda, masih tersenyum, menyambut tangan kami, dan meminta maaf jikalau ada kesalahan untuk anaknya. Kami melihat anaknya yang paling kecil tertidur di dekat kakek dan neneknya. Anaknya yang paling besar, berlari-lari keliling ruangan, tertawa dan bermain dengan seorang anak kecil yang lain. Nampak jelas tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Bahkan mungkin ia sedang mengira bahwa ada acara kumpul keluarga biasa, dan merasa senang karena banyak orang yang berkunjung ke rumahnya.


Kami hanya duduk, terdiam, memikirkan sebuah subjek pembicaraan.

Setelah hanya berdiri beberapa saat, terdiam dan memandangi sosoknya. Kami duduk di teras rumah. Situasinya sama dengan keadaan kami sebelumnya di dalam taksi. Tidak ada yang berbicara dengan suara lantang. Pembicaraan yang terjadi dilakukan dengan berbisik-bisik. Setelah pertukaran beberapa patah kata, kesunyian kembali lagi di tengah-tengah kami ingin mengambil bagiannya. Kami hanya duduk disana, memandangi handphone berpikir siapa lagi yang harus dihubungi. Bermain dengan jari-jari tangan, menunduk menatap lantai, atau memandangi anak pertamanya yang sedang bermain di dekat kami. Berpikir bagaimana anak itu akan tumbuh tanpa ibunya.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang, lalu berpamitan pada orang tuanya. Kembali lagi ayahnya berkata pada kami, “kalau Nita ada salah, tolong dimaafin ya….” Sambil berjalan meninggalkan rumah itu aku berpikir, “kesalahannya hanyalah, ia pergi terlalu cepat, ya…, itu saja.”

In memoriam of Nita Handayani, a loving mother, and a cheerful friend.

Jakarta, 2010