Sejak berhasil mendonorkan darah untuk pertama kalinya, aku sepertinya jadi keranjingan. Ketika gedung kantorku yang lama, mengadakan acara donor darah lagi, aku bersemangat untuk ikut serta. Tapi dengan membawa seorang ‘korban’ tentunya. Sialnya, yang tadinya aku ajak hanya sebagai pelengkap penderita, ternyata menjadi penderita yang sesungguhnya.
Aku mengajak salah seorang teman baikku—laki-laki—untuk ikut donor darah bersama. Ia ingin ikut, karena ia juga belum pernah mendonorkan darah sebelumnya. Jadi lebih ke arah ingin tahu. Tapi ia juga sebenarnya tidak tahan dengan darah. Sewaktu jarinya akan ditusuk untuk mengetes golongan darah, mimik wajahnya mulai berubah. Aku hanya berdiri sambil menahan tawa di sampingnya. Kok bisa, seorang laki-laki takut darah seperti itu, hehehehehe. Si petugas PMI bertanya padanya, “tadi pagi udah sarapan belum?”
“Belum, bu…, emangnya kenapa?”
“Yaah…, kalo belum sarapan, gak bisa donor dooongg….”
Wajahnya langsung terlihat sedikit bercahaya, senyum mulai mengembang. Seorang panitia yang kebetulan berdiri di sampingnya juga, langsung bertanya, pada si petugas PMI. “Tapi kalo kita kasih sarapan, bisa, bu?”
“Ooohh…, bisa kok….” Jawab si ibu.
“Panitiaaaaaa! Minta makan dong! 1 kotak!” Si panitia itu langsung berteriak, tidak ingin kehilangan satu donor sepertinya. Senyum yang mulai mengembang di wajah temanku, perlahan-lahan mengempis…,huehueuhehe.
Akhirnya, setelah diberikan 1 kotak makan, kami duduk menunggu giliran kami dipanggil untuk mendonorkan darah kami.
“Udah, buruan tuh, makan.” Aku berkata kepadanya, sambil mengintip ke dalam kotak kue.
“Iye, ini aja cukup.” Katanya, menyeruput 1 kotak susu coklat.
“Kaga cukup kali, kuenya dimakan juga!”
“Udah ini aja cukup.”
“Ya udah, tapi diabisin tuh, susunya”
“Kaga udah cukup, gue.” Katanya hanya meminum setengah kotak.
“Oooohhhh…, gue tau sekarang, loe takut muntah ya, kalo kebanyakan?” Akhirnya bisa membaca makna dibalik tindakannya. Ia hanya tersenyum. Ternyata tebakanku tepat sasaran.
Tiba-tiba namaku dipanggil. Ia belum. Sebelum aku berdiri, ia berbisik, “ntar loe tungguin ampe gue selesai yak!”
Tidak ada sepuluh menit setelah aku dipanggil, gilirannya untuk maju. Ia berbaring di tempat donor tepat di sebelahku, tidak berani melihat ke arah tangan yang akan ditusukan jarum. Aku berkata, “udah ditusuk belum?”
“Belum tau gue!”
“Kok belum tau?”
“Gue gak berani liat….”
“Lah, kan terasa sakit?”
“Belum berasa apa-apa.” Katanya, tetap tidak mau melihat ke arah tangannya yang akan ditusuk jarum.
Ketika kami selesai dan mengambil kotak makan, kami turun ke lantai kami kembali. Sesampainya disana, temanku menyadari ada yang aneh dengan tangannya.
“Nay, kok tangan gue bengkak ya?” Sambil menunjukkan tangannya. Ternyata betul, ada benjolan sebesar bola ping-pong tepat di tempat jarum tadi ditusukkan.
“Kok bisa begitu sih? Udah, palingan bentar lagi juga turun bengkaknya.” Kataku mencoba bersikap santai.
“Kalo gue lepas aja plesternya gimana?”
“Jangaaaaan! Udah biarin aja dulu…, entaran aja baru loe lepas.” Panik, karena membayangkan jika ia melepas plester itu, darahnya akan keluar seperti air mancur. Tapi ternyata ketika ia melepas plesternya, tidak ada apapun yang terjadi. Fwweeuuhh….
Seharian itu, setiap kali aku melewati mejanya, aku terus berharap bola ping-pong di lengannya akan mengempes. Rupanya si temanku ini, juga tidak mau membiarkanku begitu saja. Setiap kali aku lewat, ia akan dengan sengaja menunjukkan si bola ping-pong itu. Sampai akhirnya aku harus merelakan minuman kotak yang sudah kusimpan di kulkas untuk kuminum nanti, untuk mengompres tangannya, dan untuk menutup mulutnya.
Kukira masalah akan berakhir disitu, ternyata aku salah. Ketika kami masuk kantor lagi pada hari senin, ternyata si bola sudah menghilang, tapi sekarang digantikan dengan memar yang terlihat sangat parah. Berwarna biru, keunguan, dengan sedikit garis-garis hijau, terlihat cukup besar di lengannya.
“Kok bisa jadi gitu sih, lengan loe?”
“Gak tau, waktu hari sabtu tiba-tiba mulai begini!”
“Masa sih, lengan gue buktinya gak kenapa-napa? Yang nusuk jarumnya gak ahli kali?”
“Gak ngerti juga gue…, tanggung jawab loe!”
“Tanggung jawab??? Loe pikir loe hamil??”
Akhirnya begitulah, si temanku ini tidak ingin melepaskan ku dengan mudah dari ‘tanggung jawab’ karena sudah mengajaknya untuk donor darah. Setiap kali aku melewati mejanya, atau sedang berbicara dengannya, ia akan mengangkat lengan bajunya, menunjukkan memar yang mengerikan itu, lalu mengelus-elusnya sambil memasang muka loe-yang-ngajak-gue-donor-darah-sekarang-do-something-about-this-memar. Sial.
Mulai dari saat itu, jika aku dibuatkan bekal makan siang, makan pagi, atau snack oleh ibuku, ibuku juga akan membuatkan satu untuknya, sepertinya tidak tega, karena si anaknya ini sudah ‘melukai’ orang lain. Temanku tentunya dengan senang hati menerima, lumayan kan, tidak harus mengeluarkan uang untuk makan. Tiap hari dia akan bertanya, “Nay, hari ini mama bekelin apa?”
“Dia nyokap gueeeee, bukan nyokap looeeee!”
“Kan, gue udah diangkat anaaakk….” Sambil mengangkat lengan bajunya dan menunjukkan bekas memar yang tak kunjung hilang. Arrggghhhh.
Kesal karena ia sepertinya sudah dengan senang hati menjadi parasit, aku meng-email salah satu teman baik kami yang lain, ingin bercerita sekaligus meledek si teman memarku ini. Jadi cowo kok, memar dikit doang, rewel amat. Maksud hati ingin meledek, apa daya si teman yang ku-email malah membalas dengan bercerita kalau ada seorang temannya yang lain meninggal karena masalah transfusi darah. Aaarrrggghhh. 2-0 untuk si teman memar.
Memar itu memakan waktu cukup lama untuk hilang. Selama memar itu masih ada, selama itu juga dia dengan senang hati membuatku merasa bersalah. Sepertinya si temanku ini memang agak sensitif kulitnya. “Kulit gue kan, kaya kulit baby, Nay….” Katanya sambil tersenyum puas.
“Apaa? Kulit babi??” pura-pura tidak mendengar kata-katanya.
Aku tidak kapok, lain kali akan kuajak lagi dia untuk donor darah.
1 comment:
ini si biji yach ? :D hehe
Post a Comment